KAB.HULU SUNGAI SELATAN
Pertanian merupakan kegiatan utama masyarakat Desa Loksado. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Dana Lumur, S.Pd dan Ibu Rosiana, masyarakat menanam berbagai komoditas seperti padi gunung, karet, kemiri, kayu manis, jengkol, serta mulai mengembangkan sawit dan buah-buahan lokal. Tanaman padi gunung ditanam secara tradisional dengan sistem gotong royong menggunakan alat “asak”. Penanaman biasanya dimulai bulan November–Desember dan panen pada Maret–April. Padi ditanam untuk konsumsi sendiri, karena warga lebih menyukai beras hasil tanam sendiri dibanding beras bantuan pemerintah. Karet menjadi salah satu tanaman utama, mulai disadap saat berumur 6–7 tahun dengan harga jual antara Rp6.000–12.000/kg. Namun, karena harga yang tidak stabil, sebagian warga mulai beralih menanam sawit yang lebih cepat panen (sekitar 3 tahun) dan lebih menguntungkan. Hasil sawit dijual ke loading-an atau pabrik terdekat. Kemiri juga banyak ditanam karena cepat berbuah (4 tahun). Penjualannya bisa dalam bentuk utuh (Rp7.000–8.000/kg) atau kupas (Rp30.000–60.000/kg). Sedangkan kayu manis dipanen saat berumur 8–10 tahun, dijual kering seharga Rp50.000–60.000/kg, dan sebagian warga mengolahnya menjadi sirup herbal sebagai produk khas desa. Selain itu, warga juga menanam jengkol (panen 5 tahun, harga Rp15.000/kg) dan buah-buahan seperti durian, pisang, langsat, dan kasturi. Pertanian di desa ini tidak terdampak banjir karena lahan berada di daerah perbukitan. Secara keseluruhan, masyarakat Desa Loksado tetap mempertahankan sistem pertanian tradisional berbasis kearifan lokal, namun juga mulai berinovasi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan ekonomi dan peluang pasar.
Kegiatan kerja bakti dan gotong royong di Desa Loksado masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh responden Fendy dan Ibu Rahma dalam wawancara yang dilakukan oleh Sanah dan Icha. Warga desa aktif melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan seperti jalan desa, saluran air, dan fasilitas umum, terutama setelah hujan deras, sebagai bentuk kepedulian terhadap kebersihan dan kenyamanan lingkungan. Selain itu, semangat kebersamaan juga terlihat saat warga saling membantu dalam berbagai kegiatan sosial, seperti membantu acara pernikahan, memperbaiki rumah warga, serta menolong keluarga yang terkena musibah atau kematian. Warga yang pertama mengetahui adanya kejadian biasanya langsung menghubungi tim SAR untuk memberikan bantuan cepat. Gotong royong juga tampak kuat dalam kegiatan adat dan budaya. Warga secara sukarela bekerja sama mempersiapkan berbagai acara seperti festival kecil tarian Dayat Babangsai (penari wanita), Bakanjar (penari pria), serta festival makanan khas Mahumbal. Kegiatan tersebut tidak hanya menjadi ajang kebersamaan, tetapi juga sarana melestarikan warisan budaya lokal. Sementara itu, dalam hal pembangunan infrastruktur desa, terjadi perubahan dalam bentuk gotong royong. Untuk perbaikan jalan, masyarakat kini mendapatkan upah, sedangkan perbaikan jembatan masih dilakukan secara sukarela tanpa imbalan. Secara keseluruhan, hasil wawancara dengan Fendy dan Ibu Rahma menunjukkan bahwa semangat kerja bakti dan gotong royong di Desa Loksado tetap terjaga dengan baik. Nilai solidaritas, kepedulian sosial, dan kebersamaan antarwarga masih kuat, meskipun sebagian kegiatan telah menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Tradisi ini menjadi fondasi penting dalam menjaga keharmonisan serta kemajuan Desa Loksado.
Masyarakat Desa Loksado memiliki kehidupan keagamaan dan adat tradisi yang sangat beragam serta berjalan berdampingan secara harmonis. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pa Udi (44 tahun, beragama Kaharingan), masyarakat penganut Kaharingan masih aktif melaksanakan tradisi turun-temurun seperti Manugal, yaitu kegiatan menanam padi bersama. Setelah itu, diadakan upacara Ba Aruh di balai sebagai bentuk rasa syukur atas pra-panen dan hasil kerja bersama. Aruh juga dilakukan kembali sesudah panen (disebut Aruh Bewanang) yang biasanya berlangsung antara bulan Juni–Juli. Desa Loksado memiliki satu balai adat urui yang menjadi pusat kegiatan adat dan keagamaan Kaharingan. Di tempat ini pula dilaksanakan pernikahan adat, terutama bertepatan dengan acara aruh. Bila tidak bersamaan, prosesi pernikahan dilakukan di rumah. Masyarakat juga melakukan gotong royong untuk mempersiapkan acara aruh. Selain itu, terdapat upacara “Diharagu” bagi orang yang sedang sakit, sebagai bentuk doa dan permohonan kesembuhan. Nilai kearifan lokal juga tampak dalam peribahasa masyarakat setempat, yaitu “siapa hakun mahurung”, yang bermakna pentingnya saling menolong dan bekerja sama. Sementara itu, Pa Ijakria (57 tahun), selaku penghulu adat, menjelaskan bahwa Aruh dilaksanakan dua kali dalam setahun dan menjadi warisan adat yang terus dipertahankan. Acara ini diikuti oleh sekitar tujuh keluarga dengan membawa sajen berupa lamang dan hasil panen. Kegiatan ini dilanjutkan dengan betandik, begendang, bebacaan, serta tarian kanjar dan bangsai sebagai pembuka acara. Aruh berlangsung selama dua malam dan terkadang mendapat dukungan dana dari pemerintah desa. Selain aruh, terdapat pula upacara Diharagu atau Ditulung bagi orang sakit, serta upacara Kepidaraan untuk melindungi diri dari gangguan makhluk halus. Penghulu adat di Loksado selalu laki-laki dan dipilih secara turun-temurun, dengan tugas utama memimpin upacara adat, mengawinkan, dan menjaga keberlangsungan tradisi. Namun, kegiatan adat ini kini mulai berkurang seiring perubahan zaman. Dari sisi agama Islam, berdasarkan keterangan Pak Mahli (45 tahun), warga Muslim di Loksado aktif dalam kegiatan keagamaan seperti urunan bibinian, yasinan, tahlilan, dan tausiah yang dilakukan setiap malam Jumat. Sementara pada malam Selasa diadakan wirid lakian yang diikuti warga seluruh desa. Masyarakat juga rutin memperingati hari besar Islam serta mengadakan kegiatan Maulid, Burdah, dan Habsyi, baik di masjid maupun di rumah warga. Selain itu, terdapat pembinaan bagi mualaf dari BAZNAS. Namun, masjid utama di bagian atas desa sudah tidak mampu menampung jamaah dan area parkir yang terbatas, menunjukkan perlunya penambahan fasilitas ibadah. Sementara itu, dalam wawancara dengan Pa Matius (49 tahun, pendeta), kegiatan keagamaan umat Kristen di Loksado juga berjalan aktif. Ibadah rutin dilaksanakan setiap Minggu pukul 09.00 pagi, disertai pendalaman Alkitab dan sekolah minggu bagi anak-anak. Kaum remaja (usia 12–18 tahun) juga mengikuti kegiatan pembinaan iman. Setiap Rabu malam, diadakan ibadah doa keliling di rumah jemaat, bertujuan mempererat hubungan antarwarga, memperkuat iman, serta memberikan dukungan bagi yang sakit atau menghadapi masalah. Gereja yang berdiri sejak 34 tahun lalu menjadi pusat kegiatan rohani umat Kristen, dibantu oleh dua orang pelayan gereja. Secara keseluruhan, kehidupan masyarakat Desa Loksado memperlihatkan kerukunan antarumat beragama dan kelestarian adat tradisi lokal. Meski sebagian kegiatan adat mulai berkurang, semangat kebersamaan, gotong royong, dan penghargaan terhadap kepercayaan masing-masing tetap menjadi bagian penting dari identitas sosial budaya Desa Loksado.